Kesenjangan Antara Dasar, Prinsip dan Fungsi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan Aplikasinya (Ditinjau dari Epistemologi Burhani)

•11 April 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

A. Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan perencanaan dan pengarahan anak didik dalam menapaki jenjang pendidikan sangatlah urgen. Hal ini terkait dengan tuntutan masyarakat modern yang senantiasa mengikuti arah kemajuan. Salah satu komponen dalam usaha melayani tuntutan masyarakat tersebut adalah kurikulum yang sesuai dengan iklim kehidupan masyarakat konsumen pendidikan.

Kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno. Curriculum dalam bahasa Yunani berasal dari kata Curir, artinya pelari; dan Curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak” yang harus “ditempuh” oleh pelari. Mengambil makna yang terkandung dari rumusan di atas, kurikulum dalam pendidikan diartikan, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh/diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah (Nana Sujana : 4). Dapat diartikan secara sederhana kurikulum adalah segala pengalaman anak di sekolah di bawah bimbingan sekolah.

Dikarenakan kurikulum yang merupakan suatu bimbingan maka adanya kebutuhan untuk mengembangkannya sebagai penyesuaian tingkat kebutuhan mayarakat akan pendidikan yang layak. Adapun komponen-komponen kurikulum yang lazim dan selalu dipertimbangkan dalam pengembangan tiap kurikulum meliputi : tujuan, bahan pengajaran, proses belajar mengajar dan penilaian.

Hal itu juga berlaku bagi pendidikan Islam yang senantiasa dituntut mampu menjawab segala persoalan yang ada di era modern ini. Lebih-lebih dalam menjawab kemerosotan moral generasi muda yang lebih mengedepankan kebudayaan asing daripada budaya Islami.

B. Dasar Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Prinsip dalam pendidikan Islam tentang penyusunan kurikulum menghendaki keterkaitannya dengan sumber pokok agama yaitu al-Qur’an dan Hadist. Prinsip yang ditetapkan Allah dan diperintahkan Rasulullah berikut ini dapat dijadikan pegangan dasar kurikulum tersebut :

  1. Carilah segala apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu mengenai kehidupan di akhirat dan janganlah kamu melupakan nasib hidupmu di dunia dan berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (Al-Qisas : 77)
  2. Sabda Rasulullah : Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmunya dan barang siapa menghendaki akhirat (kebahagiaan hidup di akhirat) hendaklah ia menguasai ilmunya, dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka hendaklah ia menguasai ilmu keduanya. “Hadist Nabi”

Dari dasar-dasar kurikulum tersebut diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan formal yang terdapat pada kurikulum pendidikan agama Islam. Merujuk kurikulum pendidikan formal yang terdapat di sekolah dan madrasah di Indonesia, maka batasan atau konsep kurikulum mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum sendiri menurut UUSPN adalah seperangkat rencana dan pengaturan serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan pengertian ini, kurikulum minimal mengandung tiga hal yaitu : 1. Persoalan rencana atau program pendidikan dan pengajaran, 2. Persoalan pengaturan isi dan bahan ajaran pada setiap jenjang atau satuan pendidikan/sekolah, dan 3. Persoalan cara atau strategi dalam kegiatan belajar mengajarnya (Masnur Muslich, 1994 : 4).

Sedang konsep dasar kurikulum secara umum meliputi dasar filosofis, dasar psychologis, dasar sosiologis dan dasar organisatoris (Nasution : 10). Dasar kurikulum secara umum tersebut dapat ditarik secara khusus ke dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang tentunya al-Qur’an sebagai dasar pokoknya.

C. Peranan Kurikulum PAI.

Secara umum peranan kurikulum paling tidak ada tiga jenis peranan yaitu : 1) Peranan konserfatif, 2) Peranan kritis dan evaluatif, 3) Peranan kreatif (Oemar Hamalik : 8). Yang dapat di jelaskan adopsi untuk peranan kurikulum PAI secara khusus.

Peranan konservatif. Salah satu tanggungjawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda. Dalam hal ini adalah pemahan niali-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadist yang di dalamnya syarat dengan konsep nilai sosial. Peranan kurikulumlah yang menjembatani proses transmisi pemahan nilai-nilai tersebut dari pendidik ke anak didik, maka sesunguhnya kurikulum itu berorientasi ke masa lampau. Namun peranan ini sangat mendasar sifatnya.

Peranan Kritis atau evaluatif. Pendapat-pendapat atau khilafiyah dalam pemahaman Islam tentulah harus dipilah untuk disampaikan ke anak didik. Di sini peranan kurikulum turut aktif dalam mengkontrol nilai-nilai yang disampaikan dan berperan menjadi motivator dalam berfikir kritis.

Peranan kretatif. Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti mencipta dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalamn, cara berfikir, kemampuan dan ketrampilan yang baru, dalam arti memberikan manfaat bagi masyarakat.

C. Fungsi Kurikulum PAI

Fungsi kurikulum menurut Alexander Inglis ada enam :

  1. Fungsi penyesuaian, Individu hidup dalam lingkungan sedang lingkungan selalu berubah. Setiap individu haruslah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Maka peranan kurikulum di sini adalah sebagai alat pendidikan sehingga individu bersifat well adjusted.
  2. Fungsi integrasi, kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang terintegrasi. Oleh karena individu itu sendiri merupakan bagian integral dari masyarakat, maka pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.
  3. Fungsi deferensiasi, kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada dasarnya deferensiasi akan mendorong orang berfikir kritis dan kreatif.
  4. Fungsi persiapan, Kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh.
  5. Fungsi pemilihan, Pengakuan atas keperbedaan berarti pula diberikannya kesempatan bagi seseorang untuk memilih apa yang diinginkannya dan menarik minatnya. Untuk mengembangkan kemampuan tersebut maka peranan kurikulum yang disusun secara luas dan bersifat fleksibel atau luwes sangat dibutuhkan.
  6. Fungsi diagnosis, yakni membantu dan mengarahkan setiap individu agar mereka mampu memahami dan menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya (Oemar Hamalik : 10).

D. Epistemologi Burhani

Kurikulum Pendidikan Islam sebagai wilayah diskursus kajian mencakup dua pendekatan genetivus subyectivus (menempatkan Pendidikan Islam sebagai subyek) bagi titik tolak berpikir (starting point) dan genetivus obyectivus (menempatkan epistemologi burhani sebagai subyek yang membicarakan Pendidikan Islam sebagai obyek kajian). Epistemologi burhani menelaah bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, serta bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi yang telah terbukti keabsahannya.

Dalam pengertian sederhana (elementer), al-burha>n secara mantiqi> (logika) berarti aktifitas pikir yang dapat menetapkan kebenaran proposisi (qad}i>yah) melalui pendekatan deduktif (al-istinta>j) dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan yang lain yang telah terbukti secara aksiomatik (badi>hi>). Dalam arti universal, al-burha>n berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu.

Dalam menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dengan dua metodologi sebelumnya yaitu epistemologi bayani dan irfani. Secara subtansial sebenarnya kedua epistemologi ini tidaklah jauh berbeda dengan epistemologi burhani. Perbedaan ini hanya faktor perbedaan episteme. Namun demikian, episteme itu masih dibangun di atas nilai al-Qur’a>n dan h}adi>th. Secara umum meskipun epistemologi Islam termasuk ketiga episteme tersebut, di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfa>ni>. Poeradi Sastra –sebagaimana dikutip oleh M. Amin– membagi tingkat epistemologi Islam antara lain: (1) perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur’a>n al-Kari>m; (2) penginderaan (sensation); (3) pencerapan (perception); (4) penyajian (representation); (5) konsep (concept); (6) timbangan (judgement); dan (7) penalaran (reasoning).

Perbedaan epistemologi burha>ni> terletak pada :

  1. Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis. Otoritas referensinya adalah al-Qur’a>n, h}adi>t terhadap, dan pengalaman salaf.
  2. Metode yang dibangun sangat berbeda dengan epistemologi baya>ni> dan `irfa>ni>. Dengan demikian, maka epistemologi burha>ni> layak digarisbawahi sebagai metodologi yang representatif dalam membidik ilmu pengetahuan dengan bersifat demonstratif (burha>ni>).

E. Analisis

Secara konsep, kurikulum yang dikemas dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) memang telah memenuhi syarat sebagai pendukung pendidikan Islam itu sendiri. Ini dapat dilihat dari tidak adanya penyimpangan terhadap ajaran-ajaran Islam. Namun secara pragmatif aplikatif kurang mengenai sasaran. Hal ini dapat dilihat dari proses dan output pendidikan itu sendiri.

Secara subtantif yang paling ditekankan dari kurikulum Pendidikan Agama Islam tersebut adalah moralitas yang tinggi. Namun kenyataan yang ada di lapangan output Pendidikan yang telah menerima pendidikan yang terangkum dalam kurikulum PAI masih saja menunjukkan moralitas yang rendah. Sehingga pendidikan yang diharapkan mampu menjawab krisis moralitas yang telah mewabah ini hanya isapan jempol belaka.

Pertanyaan yang berlanjut, apa atau siapa yang salah. Tentunya menarik kalau permasalahan ini kita lihat dari sudut epistemologi burhani. Bahwa pembuatan kurikulum tersebut tidak melibatkan berbagai setting yang kelak justru sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut antara lain: pertama, sumber-sumber kurikulum tersebut sudahkan memenuhi prasyarat yang diajukan pendidikan Islam secara umum yaitu berdasarkan al-Qur’an Hadist. Kedua; Manakah konsep kurikulum yang benar itu, dan apakah hal itu sudah kita ketahui. Ketiga, sifat dasar dari kurikulum tersebut apakah sudah diketahui pula. Apakah ada faktor lain yang benar-benar berada di luar konsep tersebut, dan kalau ada, apakah dapat didektesi dan diketahui. Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenia/appearance) versus hakikat (noumena/essence). Ketiga, Dari itu pertanyaan yang muncul apakah kurikulum yang dibuat itu sudah benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verifikasi.

Dari permasalahan yang dikemas dalam analisa tersebut dapat kita tinjau dari aspek episteme burhani yang terangkum dalam empat metode yaitu:

  1. Observasi

Dalam menelaah aplikasi kurikulum Pendidikan Agama Islam hal pertama yang kita lakukan adalah metode observasi. Pengertian mudahnya adalah tinjauan langsung secara pragmatis di lapangan. Penemuan yang dapat ditampilkan adalah bukti bahwa output dari sekolah-sekolah formal tidak bisa menjamin kebagusan akhlaq mereka. Hal ini kontras dengan konsep kurikulum teoritisnya.

  1. Eksperimen

Berbagai eksperimen dalam menerapkan kurikulum tersebut telah diupayakan namun hasil masih dibawah target. Fakta yang ada sering bergantinya kurikulum dan metode pembelajaran dalam sekolah formal ini adalah wujud dari eksperimen yang dilakukan untuk mengaplikasikan kurikulum terotis tersebut.

  1. Rasional

Secara rasional tentunya akan dianggap bagus konsep teoritis kurikulum Pendidikan agama Islam trsebut namun kesenjangan aplikasinya yang mengubah prediksi nalar pendidikan itu sendiri. Hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor kegagalan tentu ada penyebabnya. Sedang penyebab pasti ada yang membuat jelas hal ini membutuhkan alasan yang rasional.

  1. Al-Quran dan Al-Hadis

Secara teoritis pula konsep kurikulum Pendidikan Agama Islam memang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Lagi-lagi pertanyaan yang muncul adalah aplikasi dari kurikulum ini sudahkah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis atau justeru terjebak pada pendapat kelompok atau aliran tertentu sehingga terjadi kejumudan karena masuk berbagai kepentingan di dalamnya.

Menjawab dari hasil pengamatan melalui metode di atas akan ditemui skandal besar dalam pembuatan sekaligus aplikasi yang tidak sesuai dengan wacana teoritis kurikulum yang dirancang. Sehingga secara spesifik dapat dibagi dalam beberapa bidang yang mempengaruhi aplikasi kurikulum Pendidikan Agama Islam tersebut, salah satu bidang yang paling mempengaruhi adalah bidang politik.

Unsur politik banyak mempengaruhi penerapan kurikulum Pendidikan Agama Islam yang berada pada sekolah-sekolah formal. Hal ini dikarenakan berbagai kelompok aliran keagamaan yang berada di Indonesia berusaha menanamkan dominasinya melalui jalur pendidikan. Ini terlihat dimana sering kali terjadi bargaining position antara penguasa dan tokoh aliran keagamaan tersebut. Yang pada ahirnya mempengaruhi kebijakan yang menyangkut penerapan kuriulum baik secara ilmu fiqh maupun ilmu kalamnya.

Sehingga dengan kebijakan-kebijakan yang lebih banyak memngutamakan ideologi kelompok bukan mencari kebenaran dari penyampaian kurikulum tersebut membuat proses pendidikan terabaikan. Keterabaian proses pendidikan ini ujung-ujungnya menimbulkan kemerosotan moral. Disinilah letak kesenjangan antara kurikulum dan aplikasinya dalam proses pembelajaran.

F. Penutup

Dari uraian di atas dapat diketahui penerapan kurikulum yang sesuai dengan konsep dasarnya sangatlah urgen. Hal ini terkait dengan proses transformasi keilmuan dari generasi tua ke generasi muda. Sudah sepatutnya kurikulum selalu dievaluasi untuk dapat menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang terus melangkah ke era kemajuan baik secara saintific maupun kreatifitas berbagai pemikiran yang kerapkali berbenturan dengan nilai religi, Agama Islam khususnya. Serta semakin hilannya nilai-nilai moralitas diberbagai kancah kehidupan seperti perpolitikan, ekonomi bahkan religi itu sendiri.

Refrensi :

1. Muslich, Masnur, Dasar-Dasar Pemahaman Kurikulum 1994, Penerbit YA 3, Malang, 1993.

2. Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, Sinar Baru, Bandung, 1989.

3. Hamalik, Oemar, Pengembangan Kurikulum (Dasar-Dasar dan Pengembangannya), CV Mandar Maju, Bandung, 1990.

GHARIB AL-HADIS

•11 April 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

A. Pendahuluan

Memahami hadis sebagai warisan Nabi saw. haruslah menyeluruh dan universal. Menyeluruh dalam artian memahami secara benar, sedang universal berarti tidak meninggalkan satu lafadh pun dalam menelaahnya. Terkait dengan memahami secara menyeluruh dan universal di era kini akan terbentur dengan pemahaman bahasa yang tentunya berkembang sebanding dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri.

Hadis mulanya merupakan bahasa lisan kemudian berubah menjadi bahasa teks setelah terjadi proses transformasi. Hal ini menjadi pertanyaan besar apakah esensi dari bahasa yang meliputi rasa dan karsa bisa terwakili dengan bahasa teks yang pembukuannya pun tidak disaksikan oleh pelaku dan saksi-saksi kejadiannya. Berangkat dari itu perlu adanya peninjauan hadis secara etimologi sebagai upaya dalam melestarikan bahasa hadis sehingga tidak asing diterima generasi yang semakin menjahui zaman Nabi saw.

Peninjauan hadis dari segi dirayahnya yang lebih spesifik dalam membahas istilah yang sulit dikenal atau sering disebut ilmu gharib al-hadis. Dengan adanya pembahasan secara khusus ini diharapkan generasi yang semakin menjauhi bahasa hadis bisa memahami lebih tepat terhadap arti kosakata hadis itu sendiri. Sehingga dengan pemahaman yang tepat akan dihasilkan hukum yang tepat pula.

B. Gharib al-Hadis

علم غريب الحديث : علم يعرف به معنى ما وقع في متون الاحاديث من الالفاظ العربية عن أذهاب الذين بعد عهدهم بالعربية.

Gharib al-Hadis adalah lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis yang sulit dikenal dan difahami maknanya.

Mengetahui makna lafal-lafal tersebut dalam ilmu hadis merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting bagi ahli hadis agar tidak tergolong sebagai rawi yang tidak tahu terhadap apa yang diriwayatkannya. Hal inilah yang mendorong Imam Abdur al-Rahma>n ibn Mahdy mengatakan, seandainya aku menghadapi persoalan seperti yang telah aku lewatkan, maka sungguh aku menuliskan untuk setiap hadis tafsir atau penjelasannya.

Dengan wacana tersebut maka perlu diingat wajibnya berhati-hati dalam membahas gharib al-hadis, agar peneliti tidak tertipu oleh suatu kata dari makna yang sebenarnya yang akibatnya berkata tentang Allah tanpa ilmu.

Para ulama’ telah berupaya menyusun kitab untuk men-syarah gharib al-hadis, dan ulama yang pertama kali menyusunnya adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna (w.210 H). Adapun keterangan dalam Tarikh Baghdad yang mula-mula menyusun kitab dalam bidang gharib al-hadis adalah Abu al-Hasan an-Nadhir ibn Syamil al-Mazany yang wafat pada tahun 203H. Terlepas dari kontroversi siapa pertama kali ulama yang menyusun kitab bidang gharib al-hadis pada generasi demi generasi berikutnya senantiasa ada ulama yang menghimpun bahan serupa dan kemudian menyusunnya sehingga datanglah Imam Ibnu al-Atsir Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari (w.606 H). Ia menyusun kitab al-Nih>ayah. Kitab ini dimaksudkan untuk menghimpun keterangan-keterangan yang berserakan pada kitab-kitab lainnya. Kata-kata yang gharib dalam kitab ini diuraikan dengan panjang lebar sehingga memberikan gambaran umum hadis yang bersangkutan. Oleh karena itu kitab ini sangat komplit dan merupakan kesimpulan uraian hadis-hadis Nabi saw.

Berikut penulis gharib al-hadis menurut urutan tahun :

  1. Abu Ubaidah Ma’mar ibn al-Muthana (210H)
  2. Abul Hasan al-Maziny (204H)
  3. Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam (224H)
  4. Ibn Qutaibah al-Dunury (276H)
  5. Al-Khat}t}aby (378H)
  6. Abu Ubaid Ahmad ibn al-Harawy (440H)
  7. Al-Zumakhsyary
  8. Abu Bakar al-Ashbahany (581H)
  9. Ibnul Atsir (606H)
  10. Al-Sayuthy (911H)

C. Contoh Analisa Hadis yang Mengandung gharib al-hadis

a. Teks Hadis

3508 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلَانًا قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ. اخرجه البخارى

b. Terjemah Hadis

Hadis yang dituturkan kembali oleh Usaid bin h}udair sesungguhnya seorang lelaki dari kelompok Anshar berkata dengan memohon:” Ya Rasululah tidakkah engkau angkat aku sebagai amil sebagaimana engkau mengangkat si fulan?”, Rasulullah menjawab:” Kalian akan menghadapi sepeninggalku nanti suatu monopoli (sikap mengutamakan kepentingan sendiri), maka sabarlah kalian hingga saatnya bertemu denganku di Haud (telaga al-Kautsar) di hari kiamat”. Hadis koleksi al-Bukhori.

c. Takhrij Hadis

Apabila kita melacak diberbagai kitab hadis terdapat dua redaksi lain hadis di atas yaitu:

– وفي رواية : عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ ، قَالَ : إِنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ تَخَلَّى بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، فَقَالَ : أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا ؟ قَالَ : إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً ، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ.

– وفي رواية : أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا وَلَمْ تَسْتَعْمِلْنِي . قَالَ : إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً ، فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي.

Tempat-tempat hadis tersebut antara lain:

أخرجه أحمد 4/351(19302) قال : حدَّثنا يَزِيد بن هارون . وفي 4/352(19304) قال : حدَّثنا مُحَمد بن جَعْفَر . و”البُخَارِي” 5/41(3792) قال : حدَّثنا مُحمد بن بَشَّار ، قال : حدَّثنا غُنْدَر . وفي 9/60(7057) قال : حدَّثنا مُحَمد بن عَرْعَرَة . و”مسلم” 6/19(4807) قال : حدَّثنا مُحَمد بن المُثَنَّى ، ومُحَمد بن بَشَّار ، قالا : حدَّثنا مُحَمد بن جَعْفَر . وفي (4808) قال : حدَّثني يَحيى بن حَبِيب الحارثي ، قال : حدَّثنا خالد ، يَعْنِي ابن الحارث . وفي (4809) قال : حدَّثنيه عُبَيْد الله بن مُعَاذ ، قال : حدَّثنا أَبي . والتِّرْمِذِيّ” 2189 قال : حدَّثنا محمود بن غَيْلان ، قال : حدَّثنا أبو داود . و”النَّسائي” 8/224 ، وفي “الكبرى” 5902 و8286 قال : أخبرنا مُحَمد بن عَبْد الأَعْلَى ، قال : حدَّثنا خالد.

Dalam Shohih Bukhori sendiri terdapat hadis yang dapat dijadikan penguat untuk memaknai esensi pelajaran yang dapat diambil dari hadis di atas, hadis tersebut adalah:

3335 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ. اخرجه البخارى

Hadis Abdullah bin Mas’ud (mengutip) dari Nabi saw. bersabda:” akan terjadi monopoli (sikap mengutamakan kepentingan sendiri) dan hal-hal yang kamu ingkari”. Para Sahabat bertanya:”Apakah yang engkau pesankan kepada kami jika terjadi semua itu, wahai Rasulullah?”. Selanjutnya Rasulullah bersabda “tunaikan hak-hak yang merupakan kewajibanmu dan kalian boleh menuntut kepada Allah akan hak-hak kalian”. Hadis koleksi al-Bukhori.

d. Isnad Hadis dan Tarjamah Ruwah

  1. Nama : Usaid bin hudair bin sama>k bin ati>k;

Tingkatan : Sahabat;

Kunyah : Abu yahya;

Tempat Tinggal : Madinah;

Tahun meninggal : 20 Hijriyah;

  1. Nama : Anas bin ma>lik bin al-nad{or;

Tingkatan : Sahabat;

Kunyah : Abu h}amzah;

Tempat Tinggal : Basrah;

Tahun meninggal : 91 Hijriyah;

Guru : berjumlah 16 orang salah satunya Usaid bin hudair bin sama>k bin ati>k

  1. Nama : Qatadah bin na’a>mah bin qatadah;

Tingkatan : Tabi’in;

Kunyah : Abu al-khi>t}ab;

Tempat Tinggal : Madinah meninggal di Hait;

Tahun meninggal : 117 Hijriyah;

Rutbah : Tsiqah Tsubut;

Guru : berjumlah 26 Orang salah satunya Anas bin ma>lik bin al-nad{ar

(Abu h}amzah)

  1. Nama : Syu’bah bin al-Hija>j bin al-Warad;

Tingkatan : Tabi’ut Tabi’in;

Kunyah : Abu bust}am;

Tempat Tinggal : Basrah;

Tahun meninggal : 160 Hijriyah;

Rutbah : Tsiqah hafidh mutqin;

Guru : berjumlah 105 orang salah satunya Qatadah bin na’a>mah bin qatadah (Abu al-khi>t}ab)

  1. Nama : Muhammad abu ja’far;

Tingkatan : Tabi’ut tabi’ut tabi’in;

Kunyah : Abu ja’far, laqab : Ibn Abi al-Husain;

Tempat Tinggal : Qum;

Rutbah : Tsiqah;

Guru : berjumlah 4 orang salah satunya Syu’bah bin al-Hija>j bin al-Warad(Abu Bust}a>m).

  1. Nama : Muhammad bin Basya>r bin Ustma<<>n;

Tingkatan : Tabi’ut tabi’ut tabi’in;

Kunyah : Abu Bakar, laqab : binda>r;

Tempat Tinggal : Basrah;

Tahun meninggal : 252 Hijriyah;

Rutbah : Tsiqah;

Guru : berjumlah 20 orang salah satunya Muh}ammad bin Ja’far (Abu Ja’far).

Status hadis tersebut adalah hadis marfu’ muttasil.

e. Analisa Matan Hadis

Rajulan : pria yang bertanya adalah perawi itu sendiri yaitu Usaid bin Hudair, sedangkan “fulan” yang dimaksud adalah Amru Ibnul-Ash, yang bersangkutan tercatat sebagai muhajirin (dan memeluk Islam) seangkatan dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khalid Bin Walid.

Person penanya dan tokoh yang dikaitkan dalam pertanyaan memberi kesan rasa kurang memperoleh perlakuan yang sama, asumsi penanya adalah lantaran beda status sosial muhajirin dan anshar. Keadaaan serupa itu sering mengundang kerawanan.

Tasta’milu/Ista’mala : berasal dari akar kata “ista’mala” yang berarti mengangkat sebagai ‘amil (pejabat pemerintahan atau juru pungut sadaqah). Ungkapan tersebut menjelaskan betapa kedudukan seseorang dalam suatu jabatan/tugas harus melalui prosedur pengangkatan dari pemimpin melalui pejabat yang berwewenang.

Usrah: boleh dibaca asarah ataupun israh yang berarti sikap oportunis/monopoli yang bila diterjemahkan bebas adalah sikap oportunis/monopoli pejabat terhadap fasilitas duniawi seperti terlihat mereka lebih mementingkan diri dan keluarganya dari pada kepentingan rakyat banyak. Jelas hal ini merupakan sikap tercela yang tidak selayaknya dilakukan.

Sedangkan analisa terhadap hadis penguat sebagai berikut:

Umu>r : jama’ dari kata amrun, yakni urusan-urusan sektor lain yang menyangkut kepentingan agama.

Isbiru>: bersabarlah kamu (kalian) semua berarti menahan diri, tidak agresif dan tidak melakukan perlawanan terhadap penguasa (oposisi). Sebagai ganti dari sikap itu umat Islam dituntut patuh, loyal terhadap penguasa yang dibuktikan melalui pembayaran kewajiban-kewajiban sebagai warga negara, menghormati kebijakan-kebijakan pemerintah dan bila dikehendaki melibatkan diri dalam mobilisasi umum dalam rangka membela negara dan mempertahankan stabilitas nasional.

Konsekuensi sikap sabar ini bisa mengarah pada diam terhadap ketidakadilan. patuh terhadap penguasa yang zalim sekalipun adalah lebih baik dari pada protes yang melahirkan pemberontakan berikut situasi anarkis yang belum tentu mampu membuahkan hasil yang lebih baik. Sikap tersebut merupakan pilihan terpahit agar keberadaan umat Islam di suatu negara tidak terus menerus dicurigai. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya ketenangan keamanan sebagai landasan kesatuan umat Islam tetap terjaga, sikap semacam itu dituntut sepanjang kondisi menghendakinya.

Motif perintah bersabar lebih nyata kaitan kepentingannya dengan upaya memelihara konsolidasi umat Islam seperti terungkap secara eksplisit dalam hadis berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ الْجَعْدِ أَبِي عُثْمَانَ حَدَّثَنِي أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً اخرجه البخارى

Bersabar dinilai sebagai sikap terbaik ketika kondisi kepemimpinan (pemerintahan) kurang menggembirakan dan konotasinya harus mengenyampingkan sikap ambisius “fa>raqa al-jama>’ah”. Hal ini dapat diartikan sebagai bentuk usaha yang bertujuan merusak bai’ah (menentang kepemimpinan yang ada) atau lebih kasarnya berontak.

Ungkapan hadis Usaid bin H}udair mengacu pada dimensi waktu sesudah periode kepemimpinan Rasulullah yang berarti bahwa sepanjang kepemimpinan beliau gejala monopoli kepentingan sepihak dan orientasi mengutamakan fasilitas duniawi dijamin tidak pernah ada (dapat dikendalikan). Oeh karena itu distribusi kepemimpinan dan sistem seleksi pejabat di semua jenjang sepanjang kepemimpinan Rasulullah saw. nyata-nyata bersih, berwibawa dan mengutamakan kedisplinan.

Tuadduna al-haqqa : tunaikan segala hak pemerintah yang menjadi tanggungan kalian sebagai warga. Ungkapan ini identik dengan sikap loyalitas warga masyarakat kepada pemerintah baik yang bersifat khusus individu ataupun umum/kemasyarakatan. Hal itu berarti bahwa betapa kondisi kebijakan pemerintahan kurang menguntungkan umat, tetapi kita dituntut peran aktif mendukung stabilitas dan kewibawaan pemerintah.

Tasalu>na Allaha al-ladzi lakum: mohonlah kalian kepada Allah akan hal-hal yang seharusnya menjadi hak kalian. Penegasan tersebut mengarah pada kompensasi dari keinginan berontak menjadi sikap mengembalikan persoalan kepada Allah swt. dengan menempuh rekayasa bentuk lain yang membawa kemaslahatan umat tanpa menimbulkan ekses terhadap stabilitas nasional dan kewibawaan pemerintah. Agaknya pilihan tersebut merupakan antisipasi terhadap keadaan yang terkecil resikonya (sikap taghyirul munkar bil qalbi).

Kenyataan sejarah umat Islam masa lalu agaknya tidak seirama dengan resep tuntunan hadis Usaid dan Abdullah bin Mas’ud, justeru tokoh-tokoh salaf memilih sikap agresif mengadakan perlawanan kepada pemerintah yang dinilai zalim.

Sebagai contoh Husain bin Ali (cucu Nabi) menentang kepemimpinan Yazid bin Muawiyah, atau lebih awal lagi Aisyah bersama Abdullah bin Zubair kontra pemerintahan Ali bin Abi Thalib dan juga agresi Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepadanya. Sebagai pengamat sejarah dianjurkan agar seruan Rasulullah saw. seperti tersirat pada kedua hadis di atas dipandang sebagai hukum dasar mengingat sifat informasinya.

Adapun sikap yang ditempuh oleh perseorangan tokoh-tokoh salaf itu merupakan kasus khusus yang pola mendekatinya harus dilokalisir. Anggap sajalah sikap mereka sebagai korban pilihan ijtihad yang menjadi kecenderungan individu mereka. Bukanlah resiko keliru atau salah dalam ijtihad adalah wajar saja, lebih-lebih bila diasumsikan bahwa mereka terbawa arus pemahaman terlampau global terhadap nash amar ma’ruf dan nahi munkar.

f. Pelajaran yang Dapat Diambil

1. Informasi hadis patut dipandang sebagai mu’jizat nubuwwah (prediksi keadaan yang terkait dengan otoritas kenabian Muhammad SAW) yang berarti perlu kewaspadaan terhadap berbagi penyimpangan oleh pejabat pemerintah. Pisahkan dalam cara menilai antara pemerintah dan perilaku pejabat negara. Penilaian yang cenderung menggeneralisir oknum pejabat dan lembaga negara adalah salah besar, sebab membawa serta kelembagaan gara-gara aparat dengan perilaku pribadinya berdampak mengancam stabilitas dan menjurus anarkis. Tindak pribadi pejabat sekalipun tergolong “fasiq” atau diindikasikan dosa besar belum merupakan alasan hukum yang sah untuk memecat dari jabatannya . berbeda halnya bila bentuk nyata penyimpangan itu tertuang berupa kebijakan kepemimpinannya yang tegas-tegas mengenyampingkan ajaran Islam.

  1. Umat Islam dituntut sikap menahan diri dan bertenggangrasa bila dihadapkan pada sikap pemimpin dan kepemimpinan seseorang yang kurang berkenan di hati bila dikaitkan dengan kepentingan makro umat. Dengan ungkapan lain prioritaskan ikhtiar mewujudkan stabilitas nasional (jam’atul umah) agar peran partisipasi umat Islam mampu mengangkat citra Islam dimata pemerintah dan pejabat negara.
  2. Sikap agresif destruktif yang dibangun dari asumsi nalar pergerakan seperti membuka front oposisi terbuka bukanlah hal yang terpuji, justeru pola pendekatan yang persuasif dalam beramar ma’ruf dan nahyi munkar kepada pemerintah merupakan model yang ideal.

D. Kesimpulan

Pemaknaan hadis terpengaruhi dengan makna lafadh-lafadh yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu perlu adanya ilmu yang secara khusus untuk membahasnya. Ilmu Gharib al-Hadis tampil sebagai salah satu ilmu yang mencoba meluruskan pemaknaan hadis yang mungkin akan semakin samar dengan bertambahnya umur hadis itu sendiri.

BIBLIOGRAFY

Abi Fadhli al-Sayyid Abu al-Mu’a>tial-Nury,al-Musnad al-Ja>mi’ , http://www.al-islam.com, 2006.

Bukhori, Shohi>h al-Bukhori,http://www.al-islam.com, 2006.

CD Hadis

Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 1999.

Ibn Hajar,Fath}ul al-Bary,Vol.11, http://www.al-islam.com, 2006.

Ibn al-Atsi>r, al-Niha>yah fi> Ghoribi al-Atsar, http://www.alwarraq.com,2006.

Al-Khotib al-Bagdadi,al-Ja>mi’ Li Akhla>q ar-Ra>wi Wa A<da>b as-Sa>mi’, http://www.alsunnah.com, 2006.

Al-Khotib al-Bagdadi,Tarikh Baghdad, http://www.alwarraq.com, 2006.

ANEKA JENIS DAN BIDANG KAJIAN PENDIDIKAN ISLAM (ANALISIS PERKEMBANGAN KURIKULUM)

•11 April 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

A. Pendahuluan

Menelaah aneka jenis dan bidang kajian pendidikan Islam dengan sudut pandang perkembangan kurikulum sangatlah urgen. Hal ini nantinya bisa menampilkan gambaran tentang proses adaptasi pendidikan Islam dengan kondisi masyarakat yang heterogen. Dari sini diharapkan bisa mengambil ibrah jika itu baik dan mengoreksi jika itu kurang baik, sehingga format pendidikan islam senantiasa memiliki daya tawar dalam perkembangan zaman.

B. Pendekatan Analisis

Dalam mengkaji aneka jenis dan bidang kajian pendidikan Islam hal yang perlu di telaah adalah perkembangan kurikulumnya. Meminjam istilah pendidikan secara umum, proses untuk mewujudkan perkembangan kurikulum tersebut dinamakan pengembangan kurikulum yang berarti satu istilah yang digunakan ahli pendidikan dalam rangka perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum itu sendiri terjadi karena adanya perubahan kehidupan, perkembagan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan di bidang yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat.

Dari pengertian di atas dalam proses pengembangan kurikulum tentunya akan dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Siapa yang akan terlibat dalam proses penyusunan kurikulum?

2. Langkah-langkah apa yang akan digunakan dalam penyusunan kurikulum?

3. Jika ada personal yang akan bekerja dalam pengembangan kurikulum, bagaimana orang-orang yang terlibat tersebut akan diorganisasikan?

Dari tiga pertanyaan tersebut pengembangan kurikulum dalam pendidikan Islam akan dapat di telaah secara komprehensif.

C. Model Analisis

Untuk menjawab tiga pertanyaan di atas dapat ditampilkan berbagai model pengembangan kurikulum. Salah satu yang sangat populer adalah yang disampaikan oleh Posner. Hal tersebut dapat dirangkum dalam empat pertanyaan kunci yaitu:

  1. Yang bersifat prosedural: langkah-langkah apa yang harus dilalui saat merencanakan kurikulum?:
  2. Yang bersifat deskriptif, apa yang biasa dilakukan para profesional pendidikan diwaktu itu saat merencanakan kurikulum?
  3. Yang bersifat konseptual: Apa komponen-komponen dalam perencanaan kurikulum tersebut dan bagaimana komponen-komponen tersebut saling berinteraksi?
  4. Yang berfokus pada pengguna: Kepentingan siapakah yang akan terlayani oleh kurikulum tersebut?

D. Pendidikan Islam Dari Sudut Perkembangan Kurikulumnya

Sejara garis besar dari empat sifat tersebut untuk mengkaji perkembangan kurikulum pendidikan Islam akan melahirkan model kurikulum tertentu.

1. Model Pengembangan Prosedural

Menjawab pertanyaan pertama terdapat empat poin yang dapat ditampilkan yaitu :

a. Tujuan Utama

Pendidikan Islam pada masa awal hanya membina pribadi muslim agar menjadi kader-kader Islam, berkembang pada pembinaan aspek-aspek kemanusiaan sebagai hamba Allah swt. yang bertanggung jawab atas pemeliharan alam semesta. Ini ditandai dengan pendidikan tauhid, akhlak, amal ibadah, kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan, ekonomi, kesehatan bahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan proses pendidikan ini dilanjutkan dengan pembentukan lembaga pengajaran baca tulis yang disebut kuttab, yang nantinya berkembang pula menjadi Madrasah.

b. Pengalaman Belajar

Dari awal perkembangannya pendidikan Islam yang dimulai dari dar al-Arqam hingga mencapai Madrasah terdapat konsistensi dari berbagai segi sehingga pendidikan Islam senantiasa mengalami perkembangan yang signifikan.

c. Penyusunan Efektifitas Pengalaman Belajar

dari pengalaman-pengalaman belajr baik yang bermula dari sembunyi-sembunyi di masa Nabi sampai dengan lembaga formal berupa Madrasah pengelolaan pembelajaran semakin efektif ini dilihat dari berbagai segi baik berupa media, metode dan materi.

d. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan memang sangat sederhana namun evaluasi yang berupa teguran langsung mengindikasikan pembelajaran yang tidak terikat dengan waktu dan tempat.

2. Model Pengembangan Kurikulum secara Deskrptif

Menururt Walker ada tiga elemen untuk menjawab ini:

  1. Platform kurikulum

Yaitu keyakinan, nilai dan segi politis yang mendasari kurikulum tersebut. Secara umum visi dan misi pendidikan Islam di masa awal adalah memperbaiki moralitas. Jadi secara umum materi yang disampaikan adalah aturan dan konsepsi mengenai perbaikan moral. Ini berkembang seiring perkembangan Islam yang merambah pada keheterogenan kultur masyarakat. Sehingga visi dan misi ini berkembang dengan tetap berdasar pada al-Qur’an dan al-Hadist.

  1. Perancangan kurikulum

Yaitu dilakukannya penentuan keputusan, merancang pilihan alternatif untuk di pilih yang terbaik keseluruhan di masa awal berpusat kepada Nabi saw. setelah masa khulafaur Rasyidin hal ini dilakukan secara musyawarah. Setelah masa khulafaur Rasyidin formatnya lebih berkembang sehingga tersusun rapi yang berupa madrasah.

  1. Pertimbangan mengenai keputusan yang sulit

Perancangan kurikulum di masa awal telah mendapat kesepakatan di karenakan figur Nabi yang memback up langsung. Sedang di masa setelah khulafaur Rasyidin banyak pertentangan pendapat mengenai kesepakatan dalam perencanaan kurikulum sehingga kebijakan-kebijakan yang muncul sering kali berbeda-beda dari masa-masa terpengaruh dengan aspek-aspek lain.

3. Model Pengembangan Kurikulum Konseptual

Dalam hal ini perkembangan kurikulum pendidikan Islam terpengaruhi faktor-faktor lingkungan, waktu, organisasi, sumber daya dan ekonomi serta budaya. Hal ini mengadakan penyesuan dengan perkembangan kultur masyarakat yang tentunya mengarah kepada kebutuhan bermasyarakat yang kompleks. Sehingga kebutuhan akan kurikulum senantiasa menjadi agendauntuk selalu direvisi menyesuaikan dengan perkembangan masyarakata yang ada.

4. Model Kurikulum Berfokus Pengguna

Di sini dapat ditinjau dari perspektif kritis bahwa kurikulum yang ada dalam pendidikan Islam bukan melulu melibatkan hal yang teknis tetapi juga bersifat politis dan ideologis. Ini ditandai antara lain:

  1. Para tokoh agama membantu masyarakat di sekitar institusi pendidikan untuk menentukan tema umum apa yang menurut mereka penting, misal budaya , bahasa dan keterbelakangan.
  2. Dari berbagai tema yang dipilih para tokoh tersebut dibantu oleh volunter dari masyarakat sekitar, dengan melalui dialog yang kooperatif dalam menentukan sumber belajar apa yang digunakan.

E. Penutup

Dari uraian pengembangan model kurikulum di atas posisi sistim pendidikan Islam senantiasa mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Dengan dua alasan tersebut diharapkan pendidikan Islam selalu memberikan warna dalam perkembangan abad. Dan yang terpenting dari itu adalah kemampuan para ahli fikirnya dalam merumuskan format pendidikan yang dinamis dan dapat diterima kapan dan di mana.

Dasar, Prinsip dan Fungsi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) (Anasis Pengembangan Kurikulum)

•11 April 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

A. Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan perencanaan dan pengarahan anak didik dalam menapaki jenjang pendidikan sangatlah urgen. Hal ini terkait dengan tuntutan masyarakat modern yang senantiasa mengikuti arah kemajuan. Salah satu komponen dalam usaha melayani tuntutan masyarakat tersebut adalah kurikulum yang sesuai dengan iklim kehidupan masyarakat konsumen pendidikan.

Kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno. Curriculum dalam bahasa Yunani berasal dari kata Curir, artinya pelari; dan Curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak” yang harus “ditempuh” oleh pelari. Mengambil makna yang terkandung dari rumusan di atas, kurikulum dalam pendidikan diartikan, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh/diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah. Dapat diartikan secara sederhana kurikulum adalah segala pengalaman anak di sekolah di bawah bimbingan sekolah.

Dikarenakan kurikulum yang merupakan suatu bimbingan maka adanya kebutuhan untuk mengembangkannya sebagai penyesuaian tingkat kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang layak. Adapun komponen-komponen kurikulum yang lazim dan selalu dipertimbangkan dalam pengembangan tiap kurikulum meliputi : tujuan pendidikan, pengalaman belajar, mengelola pengalaman belajar, dan menilai pembelajaran.

Hal itu juga berlaku bagi pendidikan Islam yang senantiasa dituntut mampu menjawab segala persoalan yang ada di era modern ini. Lebih-lebih dalam menjawab kemerosotan moral generasi muda yang lebih mengedepankan kebudayaan asing daripada budaya Islami.

B. Dasar Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Prinsip dalam pendidikan Islam tentang penyusunan kurikulum menghendaki keterkaitannya dengan sumber pokok agama yaitu al-Qur’an dan Hadist. Prinsip yang ditetapkan Allah dan diperintahkan Rasulullah berikut ini dapat dijadikan pegangan dasar kurikulum tersebut :

  1. Carilah segala apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu mengenai kehidupan di akhirat dan janganlah kamu melupakan nasib hidupmu di dunia dan berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (Al-Qisas : 77)
  2. Sabda Rasulullah : Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmunya dan barang siapa menghendaki akhirat (kebahagiaan hidup di akhirat) hendaklah ia menguasai ilmunya, dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka hendaklah ia menguasai ilmu keduanya. (Hadist Nabi)

Dari dasar-dasar kurikulum tersebut diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan formal yang terdapat pada kurikulum pendidikan agama Islam. Merujuk kurikulum pendidikan formal yang terdapat di sekolah dan madrasah di Indonesia, maka batasan atau konsep kurikulum mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum sendiri menurut UUSPN adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan pengertian ini, kurikulum minimal mengandung tiga hal yaitu : 1. Persoalan rencana atau program pendidikan dan pengajaran, 2. Persoalan pengaturan isi dan bahan ajaran pada setiap jenjang atau satuan pendidikan/sekolah, dan 3. Persoalan cara atau strategi dalam kegiatan belajar mengajarnya.

Sedang konsep dasar kurikulum secara umum meliputi dasar filosofis, dasar psychologis, dasar sosiologis dan dasar organisatoris. Dasar kurikulum secara umum tersebut dapat ditarik secara khusus ke dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang tentunya al-Qur’an sebagai dasar pokoknya. Adapun tujuan Pendidikan Agama Islam secara umum dapat diambil dari pendapat Muhammad Athiyah Al Abrasi, yaitu:

a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia,

b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat,

c. Persiapan mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan,

d. Menumbuhkan semangat ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sndiri,

e. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan ketrampilan tertentu agar ia dapat mencapai rejeki dalam hidup di samping memlihara segi kerohanian.

C. Peranan Kurikulum PAI.

Secara umum peranan kurikulum paling tidak ada tiga jenis peranan yaitu : 1) Peranan konserfatif, 2) Peranan kritis dan evaluatif, 3) Peranan kreatif. Yang dapat di jelaskan adopsi untuk peranan kurikulum PAI secara khusus.

Peranan konservatif. Salah satu tanggungjawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda. Dalam hal ini adalah pemahan niali-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadist yang di dalamnya syarat dengan konsep nilai sosial. Peranan kurikulumlah yang menjembatani proses transmisi pemahaman nilai-nilai tersebut dari pendidik ke anak didik, maka sesunguhnya kurikulum itu berorientasi ke masa lampau. Namun peranan ini sangat mendasar sifatnya.

Peranan Kritis atau evaluatif. Pendapat-pendapat atau khilafiyah dalam pemahaman Islam tentulah harus dipilah untuk disampaikan ke anak didik. Di sini peranan kurikulum turut aktif dalam mengkontrol nilai-nilai yang disampaikan dan berperan menjadi motivator dalam berfikir kritis.

Peranan kretatif. Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti mencipta dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berfikir, kemampuan dan ketrampilan yang baru, dalam arti memberikan manfaat bagi masyarakat.

Pengalaman belajar tersebut apabila dianalisis secara rinci dapat ditemukan beberapa poin penting, antara lain:

1. Validitas, konsep rumusan tujuan dan prinsip kurikulum PAI tersebut dapat diterapkan di sekolah.

  1. Kelayakan, rumusan tersebut layak dalam hal waktu, kemampuan guru, fasilitas sekolah, dan pemenuhan terhadap harapan masyarakat.
  2. Optimal dalam mengembangkan pengetahuan anak didik.
  3. Memberikan peluang untuk pengembangan berfikir rasional.
  4. memberikan peluang untuk menantang pengembangan seluruh potensi peserta didik sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.
  5. terbuka terhadap hal baru dan menoleransi perbedaan kemampuan peserta didik.
  6. Memotivasi belajar lebih lanjut.
  7. memenuhi kebutuhan peserta didik.
  8. memperluas minat peserta didik.
  9. mengembangkan keutuhan pengembangan ranah kognitif, afektif, psikomotor, sosial, emosi, dan spiritual peserta didik.

Komponen terahir dari langkah pengembangan kurikulum adalah penilaian. Penilaian dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Pengumpulan informasi dilaksankan sengan menerapkan asas-asas penilaian, keberlanjutan dan kesinambungan, pengumpulan bukti-bukti autentik, akurat, dan konsisten dalam menjamin akuntabilitas publik.

C. Fungsi Kurikulum PAI

Fungsi kurikulum menurut Alexander Inglis ada enam :

  1. Fungsi penyesuaian, Individu hidup dalam lingkungan sedang lingkungan selalu berubah. Setiap individu haruslah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Maka peranan kurikulum di sini adalah sebagai alat pendidikan sehingga individu bersifat well adjusted.
  2. Fungsi integrasi, kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang terintegrasi. Oleh karena individu itu sendiri merupakan bagian integral dari masyarakt, maka pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakt.
  3. Fungsi deferensiasi, kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakt. Pada dasarnya deferensiasi akan mendorong orang berfikir kritis dan kreatif.
  4. Fungsi persiapan, Kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh.
  5. Fungsi pemilihan, Pengakuan atas keperbedaan berarti pula diberikannya kesempatan bagi seseorang untuk memilih apa yang diinginkannya dan menarik minatnya. Untuk mengembangkan kemampuan tersebut maka peranan kurikulum yang disusun secara luas dan bersifat fleksibel atau luwes sangat dibutuhkan.
  6. Fungsi diagnosis, yakni membantu dan mengarahkan setiap individu agar mereka mampu memahami dan menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.

Dari fungsi kuruikulum tersebut kurikulum Pendidikan Agama Islam telah melaksanakan sesuai dengan perannya sebagai jalan atau cara dalam memahami agama Islam secara khusus dan mempersiapkan anak didik dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.

D. Penutup

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan peranan kurikulum pendidikan ditinjau dari segi manapun sangatlah urgen. Hal ini terkait dengan proses transformasi keilmuan dari generasi tua ke generasi muda. Sudah sepatutnya kurikulum selalu dievaluasi untuk dapat menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang terus melangkah ke era kemajuan baik secara saintific maupun kreatifitas berbagai pemikiran yang kerapkali berbenturan dengan nilai religi.

Refrensi :

Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru, 1989).

Tyler, R., Basic Principles of Curriculum and Instructions, (Chicago: University of Chicago Press, tt).

UUSPN No. 20 Tahun 2003.

Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995).

Athiyyah al-Abrasyi, Muhammad, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha,(Mesir : Isa al-Babi al-Habibi, cet. Kw-3, 1975).

Hamalik, Oemar, Pengembangan Kurikulum (Dasar-Dasar dan Pengembangannya, (Bandung : Mandar Maju, 1990).

AL-GHAZALI’S THEORY OF KNOWLEDGE

•11 April 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

Introduction 1All approaches and studies, except empiricism, to either knowledge or truth claims that are emerged in history seems have been referred in history of Islamic philosophy. The fact that Islam can accept any concepts, either from inside or outside, has proved an adaptive manner of the religion, even it is almost tend to be permissive. It is understandable when all Muslim agree to the principle that is important to take as well as to learn to hikmah from any places. The wave of Hellenism that consists of heritage of Greek thought is not to prohibit, hence to be neglected. Many Muslims continues this tradition and to be authoritative of it. The tradition, certainly, at last has been luxurious. Nevertheless, it is not to be gained without hard effort. The tradition still exist hitherto, although the sound seems has merely vague. 2A lot of observers claimed that Al-Ghazali is the thinker that is to be responsible for the situation. The question: is it fair the claim above? To answer the question, we have to study the philosophical exploration of Al-Ghazali, until he reached his epistemological standpoint. The favorite discourse in this theme is how human being can reach the truth? Or, are both religion and philosophy voiced a same truth? And what kind of way that is to be routed to reach the truth? Some Epistemologies Before Al-Ghazali 3Al-Ghazali lives in a main point of time when truth and reality seekers were lives. He inherited and did the theologian’s (Mutakallimun) way of thinking for the first period. The Mutakallimun known as master of intellectual speculation and group who used free reason (ahl al-ra’y wa al-nazhr). Textual explicit proofs that are elaborated faith deliberated according to logical measurement (rationalization); hence the faith problems could be explained. In certain level, position of the party (Mutakallimun) is beyond of faith of averages, which believe with taqlid (follow without reserved). Although all implications of knowledge and belief level remains based on faith commitment. The method is secure enough for kalam follower reaching knowledge and certainty. In perceiving this, Al-Ghazali not delivers the detail differences in Kalam schools, because he not concerns on doctrinal variants in the schools. The reference is theologian methodology (Osman Bakar: 1998). 4Another heritage that is also important is from truth seeker tradition through philosophical method. Al-Ghazali inherited, at least, three philosophical traditions: First, peripatetic tradition, motored by Al-Farabi and Ibn Sina who were based on logic and burhan to know everything; second, follower of Pythagoras tradition and Nicomachus in Ikhwan Shafa (community of holy brotherhood); and, the last, philosophy of Ismailiyah that is follow Pythagorean hermeneutical tradition. Those all sourced from outside of Islam, viz. Greek. 5Generally, Al-Ghazali identified these schools of philosophy as party who relied merely on reason to know everything. The method that is used in philosophical thought, especially Peripatetic school is to follow the syllogistic-logic rules to know all unknown based on the known one thing. Firstly, putting forward known major premise so united with the minor that also has known. From both premises one can reach conclusion, which is new premise (truth) (Osman Bakar: 1998). 6Continually process of natural fact can results general concepts those are able to construct material objects which can be connected to abstract ideas through imagination sight. In the last, those ideas would be united in intelligences. Those are, which by philosopher called as active reason (contained free concepts from material trap) or agent of intellectual (al-‘aql fa’al), a quality that is enabled disclosing of veil to perfect nature. Knowledge just actualized when active intellect emanated to theoretical intellect that are summed up similar ideas with the existing. This achievement often assumed most ideal since it can gain a truth through its instruments (Oliver Leaman: 2001). 7Beside of method of two schools above, Ta’limiyah is party who contribute in searching Al-Ghazali’s epistemological tabulation. This school more popular as esoteric. It carries out Shiite group, especially sect of Ismailiyah. The group believes an authority of ma’sum as cadre of prophetic spirituality. The cadre can knows essence of knowledge through interpreting verses of Qur’an that, for them, contained knowledge about the true reality of everything. In Shiite theology, Imam is the only who can interpret meaning of Qur’an essence; henceforth it is only him who has the authority to teach spirituality (Osman Bakar: 1998). Then the group subordinated exoteric reality of the esoteric. In this dimension Ismailiyah build up their religious community. 8Al-Ghazali’s Critic against Mutakallimun’s Epistemology, Philosophers and Ta’limiyah Al-Ghazali criticized to all schools, except Ismailiyah, as whom then developing in tradition that he criticized. His mapping of his predecessors into three mainstreams of epistemologies is to criticize them as well. His critic, then, branched to two poles: in one side he criticized since he initiated himself as a part of tradition he criticized, and, in the other, he took his place as who seeks of spiritual knowledge and reality. This attitude done by Al-Ghazali consciously when he criticized the weakness of Mutakallimun. As a theologian in this stream, he got that Mutakallimun’s reasonable thinking was not yet in optimal. Henceforth, it should be methodologically enriched in order to overcome the weakness, that the group merely borrowed the premises to construct argumentations from its ‘enemy’, viz. philosophers. 9It is worsened when the premises, for instance Al-Baqillani’s atomism, not only to support certain religious belief, but used as their essential creeds. For Al-Ghazali, it is indirect searching and the lower level of reality’s searching process. Faith that is source of light even contaminated with false syllogism, which was being veil of darkness (Osman Bakar: 1998). 10To philosophers, Al-Ghazali put his critic that philosophy has its justification to explain metaphysical problems. Philosophers, according to Al-Ghazali, not consequently used demonstrative thinking, hence discussing prophetic questions as well as spiritual psychology whereby also applied to others Philosophical methode for Al-Ghazali is not more than human virtue, hence it’s remain subordinated of revelation. Nevertheless, he accept of genuine philosophy that is neutral and not in opposition with religion. Meanwhile, his critic to Ta’limiyah seems more than Al-Ghazali’s sectarian feeling (Osman Bakar: 1998). 11In his Sunni position, Al-Ghazali not agree on necessary claim that faith is the only which is knows ta’wil. His religious views that is influenced by Sunni socio-political visions made his argument that ijtihad is always open to anyone, not exlusively to Imam.

ABSTRAK PENDIDIKAN PRENATAL

•11 April 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar

Salah satu keutamaan Islam bagi umat manusia adalah metode yang paripurna dan konsisten dalam membina dan melahirkan generasi yang mulia dan beradab. Di sini, sosok anak yang merupakan generasi penerus bangsa sangat menentukan masa depan suatu bangsa kelak.

Tanggung jawab ini diembankan oleh Islam kepada orang tua, yang tentu bukan hanya mempersiapkan anak didik berhasil dalam hal duniawi tetapi juga ukhrawi. Hal ini tentunya harus dimulai sedini mungkin, oleh karena itu konsep paling awal yang ditawarkan Islam adalah pendidikan prenatal.

Dalam hal ini sajian Abdullah Nasih Ulwan dalam karyanya Tarbiyatul Aulad fil Islam merupakan kajian lengkap tentang langkah tersebut. Langkah ini tentunya bisa dijadikan acuan dalam mendidik generasi penerus perjuangan Nabi saw. Khusus dalam pendidikan prenatal, Abdullah Nash Ulwan mendeskripsikan aspek pra pernikahan, pasca pernikahan dan masa neonatus menjadi hal yang sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak.

Penelitian ini menggunakan metode deduksi, deskripsi dan komperatif, dengan melakukan penelaahan berbagai literatur baik dari cendekiawan muslim maupun barat dalam rangka mencari kejelasan sebuah konsep. Kesemuanya itu tersaji dalam sajian deskriptif yang meliputi fase pranikah, pasca nikah dan neonatus. Tentunya kesemuanya itu dikemas dalam bingkai pemikiran Abdullah Nasih Ulwan yang kemudian dianalisis dengan berbagai pendapat para ahli lainnya.

Dari pembahasan yang telah dilakukan, penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep pendidikan prenatal yang ditawarkan Abdullah Nasih Ulwan bisa dijadikan alternatif-konstruktif dan solutif dalam menjawab permasalahan seputar kenakalan remaja dan pendidikan anak.