A. Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan perencanaan dan pengarahan anak didik dalam menapaki jenjang pendidikan sangatlah urgen. Hal ini terkait dengan tuntutan masyarakat modern yang senantiasa mengikuti arah kemajuan. Salah satu komponen dalam usaha melayani tuntutan masyarakat tersebut adalah kurikulum yang sesuai dengan iklim kehidupan masyarakat konsumen pendidikan.
Kurikulum secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno. Curriculum dalam bahasa Yunani berasal dari kata Curir, artinya pelari; dan Curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak” yang harus “ditempuh” oleh pelari. Mengambil makna yang terkandung dari rumusan di atas, kurikulum dalam pendidikan diartikan, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh/diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah (Nana Sujana : 4). Dapat diartikan secara sederhana kurikulum adalah segala pengalaman anak di sekolah di bawah bimbingan sekolah.
Dikarenakan kurikulum yang merupakan suatu bimbingan maka adanya kebutuhan untuk mengembangkannya sebagai penyesuaian tingkat kebutuhan mayarakat akan pendidikan yang layak. Adapun komponen-komponen kurikulum yang lazim dan selalu dipertimbangkan dalam pengembangan tiap kurikulum meliputi : tujuan, bahan pengajaran, proses belajar mengajar dan penilaian.
Hal itu juga berlaku bagi pendidikan Islam yang senantiasa dituntut mampu menjawab segala persoalan yang ada di era modern ini. Lebih-lebih dalam menjawab kemerosotan moral generasi muda yang lebih mengedepankan kebudayaan asing daripada budaya Islami.
B. Dasar Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Prinsip dalam pendidikan Islam tentang penyusunan kurikulum menghendaki keterkaitannya dengan sumber pokok agama yaitu al-Qur’an dan Hadist. Prinsip yang ditetapkan Allah dan diperintahkan Rasulullah berikut ini dapat dijadikan pegangan dasar kurikulum tersebut :
- Carilah segala apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu mengenai kehidupan di akhirat dan janganlah kamu melupakan nasib hidupmu di dunia dan berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (Al-Qisas : 77)
- Sabda Rasulullah : Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmunya dan barang siapa menghendaki akhirat (kebahagiaan hidup di akhirat) hendaklah ia menguasai ilmunya, dan barangsiapa menghendaki keduanya, maka hendaklah ia menguasai ilmu keduanya. “Hadist Nabi”
Dari dasar-dasar kurikulum tersebut diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan formal yang terdapat pada kurikulum pendidikan agama Islam. Merujuk kurikulum pendidikan formal yang terdapat di sekolah dan madrasah di Indonesia, maka batasan atau konsep kurikulum mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kurikulum sendiri menurut UUSPN adalah seperangkat rencana dan pengaturan serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan pengertian ini, kurikulum minimal mengandung tiga hal yaitu : 1. Persoalan rencana atau program pendidikan dan pengajaran, 2. Persoalan pengaturan isi dan bahan ajaran pada setiap jenjang atau satuan pendidikan/sekolah, dan 3. Persoalan cara atau strategi dalam kegiatan belajar mengajarnya (Masnur Muslich, 1994 : 4).
Sedang konsep dasar kurikulum secara umum meliputi dasar filosofis, dasar psychologis, dasar sosiologis dan dasar organisatoris (Nasution : 10). Dasar kurikulum secara umum tersebut dapat ditarik secara khusus ke dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang tentunya al-Qur’an sebagai dasar pokoknya.
C. Peranan Kurikulum PAI.
Secara umum peranan kurikulum paling tidak ada tiga jenis peranan yaitu : 1) Peranan konserfatif, 2) Peranan kritis dan evaluatif, 3) Peranan kreatif (Oemar Hamalik : 8). Yang dapat di jelaskan adopsi untuk peranan kurikulum PAI secara khusus.
Peranan konservatif. Salah satu tanggungjawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda. Dalam hal ini adalah pemahan niali-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadist yang di dalamnya syarat dengan konsep nilai sosial. Peranan kurikulumlah yang menjembatani proses transmisi pemahan nilai-nilai tersebut dari pendidik ke anak didik, maka sesunguhnya kurikulum itu berorientasi ke masa lampau. Namun peranan ini sangat mendasar sifatnya.
Peranan Kritis atau evaluatif. Pendapat-pendapat atau khilafiyah dalam pemahaman Islam tentulah harus dipilah untuk disampaikan ke anak didik. Di sini peranan kurikulum turut aktif dalam mengkontrol nilai-nilai yang disampaikan dan berperan menjadi motivator dalam berfikir kritis.
Peranan kretatif. Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti mencipta dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalamn, cara berfikir, kemampuan dan ketrampilan yang baru, dalam arti memberikan manfaat bagi masyarakat.
C. Fungsi Kurikulum PAI
Fungsi kurikulum menurut Alexander Inglis ada enam :
- Fungsi penyesuaian, Individu hidup dalam lingkungan sedang lingkungan selalu berubah. Setiap individu haruslah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Maka peranan kurikulum di sini adalah sebagai alat pendidikan sehingga individu bersifat well adjusted.
- Fungsi integrasi, kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang terintegrasi. Oleh karena individu itu sendiri merupakan bagian integral dari masyarakat, maka pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.
- Fungsi deferensiasi, kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada dasarnya deferensiasi akan mendorong orang berfikir kritis dan kreatif.
- Fungsi persiapan, Kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh.
- Fungsi pemilihan, Pengakuan atas keperbedaan berarti pula diberikannya kesempatan bagi seseorang untuk memilih apa yang diinginkannya dan menarik minatnya. Untuk mengembangkan kemampuan tersebut maka peranan kurikulum yang disusun secara luas dan bersifat fleksibel atau luwes sangat dibutuhkan.
- Fungsi diagnosis, yakni membantu dan mengarahkan setiap individu agar mereka mampu memahami dan menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya (Oemar Hamalik : 10).
D. Epistemologi Burhani
Kurikulum Pendidikan Islam sebagai wilayah diskursus kajian mencakup dua pendekatan genetivus subyectivus (menempatkan Pendidikan Islam sebagai subyek) bagi titik tolak berpikir (starting point) dan genetivus obyectivus (menempatkan epistemologi burhani sebagai subyek yang membicarakan Pendidikan Islam sebagai obyek kajian). Epistemologi burhani menelaah bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, serta bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi yang telah terbukti keabsahannya.
Dalam pengertian sederhana (elementer), al-burha>n secara mantiqi> (logika) berarti aktifitas pikir yang dapat menetapkan kebenaran proposisi (qad}i>yah) melalui pendekatan deduktif (al-istinta>j) dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan yang lain yang telah terbukti secara aksiomatik (badi>hi>). Dalam arti universal, al-burha>n berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu.
Dalam menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dengan dua metodologi sebelumnya yaitu epistemologi bayani dan irfani. Secara subtansial sebenarnya kedua epistemologi ini tidaklah jauh berbeda dengan epistemologi burhani. Perbedaan ini hanya faktor perbedaan episteme. Namun demikian, episteme itu masih dibangun di atas nilai al-Qur’a>n dan h}adi>th. Secara umum meskipun epistemologi Islam termasuk ketiga episteme tersebut, di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfa>ni>. Poeradi Sastra –sebagaimana dikutip oleh M. Amin– membagi tingkat epistemologi Islam antara lain: (1) perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur’a>n al-Kari>m; (2) penginderaan (sensation); (3) pencerapan (perception); (4) penyajian (representation); (5) konsep (concept); (6) timbangan (judgement); dan (7) penalaran (reasoning).
Perbedaan epistemologi burha>ni> terletak pada :
- Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis. Otoritas referensinya adalah al-Qur’a>n, h}adi>t terhadap, dan pengalaman salaf.
- Metode yang dibangun sangat berbeda dengan epistemologi baya>ni> dan `irfa>ni>. Dengan demikian, maka epistemologi burha>ni> layak digarisbawahi sebagai metodologi yang representatif dalam membidik ilmu pengetahuan dengan bersifat demonstratif (burha>ni>).
E. Analisis
Secara konsep, kurikulum yang dikemas dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) memang telah memenuhi syarat sebagai pendukung pendidikan Islam itu sendiri. Ini dapat dilihat dari tidak adanya penyimpangan terhadap ajaran-ajaran Islam. Namun secara pragmatif aplikatif kurang mengenai sasaran. Hal ini dapat dilihat dari proses dan output pendidikan itu sendiri.
Secara subtantif yang paling ditekankan dari kurikulum Pendidikan Agama Islam tersebut adalah moralitas yang tinggi. Namun kenyataan yang ada di lapangan output Pendidikan yang telah menerima pendidikan yang terangkum dalam kurikulum PAI masih saja menunjukkan moralitas yang rendah. Sehingga pendidikan yang diharapkan mampu menjawab krisis moralitas yang telah mewabah ini hanya isapan jempol belaka.
Pertanyaan yang berlanjut, apa atau siapa yang salah. Tentunya menarik kalau permasalahan ini kita lihat dari sudut epistemologi burhani. Bahwa pembuatan kurikulum tersebut tidak melibatkan berbagai setting yang kelak justru sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut antara lain: pertama, sumber-sumber kurikulum tersebut sudahkan memenuhi prasyarat yang diajukan pendidikan Islam secara umum yaitu berdasarkan al-Qur’an Hadist. Kedua; Manakah konsep kurikulum yang benar itu, dan apakah hal itu sudah kita ketahui. Ketiga, sifat dasar dari kurikulum tersebut apakah sudah diketahui pula. Apakah ada faktor lain yang benar-benar berada di luar konsep tersebut, dan kalau ada, apakah dapat didektesi dan diketahui. Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenia/appearance) versus hakikat (noumena/essence). Ketiga, Dari itu pertanyaan yang muncul apakah kurikulum yang dibuat itu sudah benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verifikasi.
Dari permasalahan yang dikemas dalam analisa tersebut dapat kita tinjau dari aspek episteme burhani yang terangkum dalam empat metode yaitu:
- Observasi
Dalam menelaah aplikasi kurikulum Pendidikan Agama Islam hal pertama yang kita lakukan adalah metode observasi. Pengertian mudahnya adalah tinjauan langsung secara pragmatis di lapangan. Penemuan yang dapat ditampilkan adalah bukti bahwa output dari sekolah-sekolah formal tidak bisa menjamin kebagusan akhlaq mereka. Hal ini kontras dengan konsep kurikulum teoritisnya.
- Eksperimen
Berbagai eksperimen dalam menerapkan kurikulum tersebut telah diupayakan namun hasil masih dibawah target. Fakta yang ada sering bergantinya kurikulum dan metode pembelajaran dalam sekolah formal ini adalah wujud dari eksperimen yang dilakukan untuk mengaplikasikan kurikulum terotis tersebut.
- Rasional
Secara rasional tentunya akan dianggap bagus konsep teoritis kurikulum Pendidikan agama Islam trsebut namun kesenjangan aplikasinya yang mengubah prediksi nalar pendidikan itu sendiri. Hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor kegagalan tentu ada penyebabnya. Sedang penyebab pasti ada yang membuat jelas hal ini membutuhkan alasan yang rasional.
- Al-Quran dan Al-Hadis
Secara teoritis pula konsep kurikulum Pendidikan Agama Islam memang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Lagi-lagi pertanyaan yang muncul adalah aplikasi dari kurikulum ini sudahkah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis atau justeru terjebak pada pendapat kelompok atau aliran tertentu sehingga terjadi kejumudan karena masuk berbagai kepentingan di dalamnya.
Menjawab dari hasil pengamatan melalui metode di atas akan ditemui skandal besar dalam pembuatan sekaligus aplikasi yang tidak sesuai dengan wacana teoritis kurikulum yang dirancang. Sehingga secara spesifik dapat dibagi dalam beberapa bidang yang mempengaruhi aplikasi kurikulum Pendidikan Agama Islam tersebut, salah satu bidang yang paling mempengaruhi adalah bidang politik.
Unsur politik banyak mempengaruhi penerapan kurikulum Pendidikan Agama Islam yang berada pada sekolah-sekolah formal. Hal ini dikarenakan berbagai kelompok aliran keagamaan yang berada di Indonesia berusaha menanamkan dominasinya melalui jalur pendidikan. Ini terlihat dimana sering kali terjadi bargaining position antara penguasa dan tokoh aliran keagamaan tersebut. Yang pada ahirnya mempengaruhi kebijakan yang menyangkut penerapan kuriulum baik secara ilmu fiqh maupun ilmu kalamnya.
Sehingga dengan kebijakan-kebijakan yang lebih banyak memngutamakan ideologi kelompok bukan mencari kebenaran dari penyampaian kurikulum tersebut membuat proses pendidikan terabaikan. Keterabaian proses pendidikan ini ujung-ujungnya menimbulkan kemerosotan moral. Disinilah letak kesenjangan antara kurikulum dan aplikasinya dalam proses pembelajaran.
F. Penutup
Dari uraian di atas dapat diketahui penerapan kurikulum yang sesuai dengan konsep dasarnya sangatlah urgen. Hal ini terkait dengan proses transformasi keilmuan dari generasi tua ke generasi muda. Sudah sepatutnya kurikulum selalu dievaluasi untuk dapat menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang terus melangkah ke era kemajuan baik secara saintific maupun kreatifitas berbagai pemikiran yang kerapkali berbenturan dengan nilai religi, Agama Islam khususnya. Serta semakin hilannya nilai-nilai moralitas diberbagai kancah kehidupan seperti perpolitikan, ekonomi bahkan religi itu sendiri.
Refrensi :
1. Muslich, Masnur, Dasar-Dasar Pemahaman Kurikulum 1994, Penerbit YA 3, Malang, 1993.
2. Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, Sinar Baru, Bandung, 1989.
3. Hamalik, Oemar, Pengembangan Kurikulum (Dasar-Dasar dan Pengembangannya), CV Mandar Maju, Bandung, 1990.
Komentar Terbaru